Selasa, 26 Januari 2010

Animax Suguhkan Serial Anime Komedi Samurai Champloo

Switch to Bahasa Inggris

Animax akan menghadirkan serial anime baru yang unik dan bernuansa komedi: Samurai Champloo ke layar kaca pemirsa di Asia. Tayang perdana 27 Januari 2010 dan ditayangkan tiap Rabu pukul 19:00 WIB di Animax, Samurai Champloo menyajikan pertarungan pedang a la Samurai yang seru dan komedi slapstick di Jepang dalam masa pemerintahan Kaisar Edo, dengan perpaduan budaya hip hop moderen, seperti rap, breakdance, musik DJ, slang, graffiti dan musik hip hop yang membuat serial ini unik namun mengasyikkan dan merupakan serial anime pertama yang melakukan penggabungan tersebut.

Samurai Champloo mengisahkan tentang Mugen, petarung tengil yang hidup nomaden dan memiliki gaya bertarung a la breakdance yang bertemu dengan seorang samurai yang kalem namun memiliki jurus-jurus mematikan, Jin. Mereka bertarung di sebuah kedai teh dan ditahan oleh aparat setempat karena dituduh telah menyulut kebakaran di kedai itu dan menyebabkan seorang tewas. Untungnya, Fuu, pramusaji muda yang bekerja di kedai teh itu menyelamatkan mereka dari eksekusi mati. Untuk membalas budi kebaikan Fuu, kedua petarung ini sepakat untuk mengesampingkan permusuhan di antara mereka dan terpaksa bergabung dalam petualangan Fuu untuk menemukan seorang samurai yang mengeluarkan aroma tubuh seperti bunga matahari. Berbagai aksi dan komedi terjadi dan persahabatan pun tumbuh di antara trio tersebut dalam petualangan mereka.

Serial 26 episode yang menegangkan tapi mengocok perut ini diciptakan dan disutradari oleh Shinichiro Watanabe (Cowboy Bebop dan Animatrix), dirancang oleh Kazut Nakazawa (Kill Bill Vol. 1) dan Mahiro Maeda (Last Exile), diproduksi oleh studio Manglobe dan diperkuat oleh suara latar yang dibuat oleh Tsutchie, Fat Jon, Nujabes dan Force of Nature yang bernuansa rap dan hip hop.

Saksikan aksi dan berbagai kelucuan yang dilakukan trio petarung ini di Animax setiap Rabu pukul 19:00-19:30 mulai 27 Januari 2010.

Karakter

Samurai Champloo mengisahkan tiga individu yang asalnya saling tidak mengenal yang kemudian bersatu untuk berpetualang di Jepang.

Fuu – seorang remaja berusia 15 tahun yang tidak memiliki orang tua. Ibunya telah meninggal dan ayahnya telah lama menghilang. Walau posturnya yang mungil dan tampangnya yang lucu menunjukkan dirinya sebagai orang yang lemah dan tidak berdaya, Fuu adalah orang yang tegas dan tidak mau diganggu. Ia berani dan memiliki kemauan tinggi dan konsisten untuk mencapai cita-citanya. Ia bersikeras untuk menjalani misi pribadinya: mencari samurai misterius yang memiliki bau seperti bunga matahari. Walau ia tidak mampu menggambarkan secara detil siapakah dan bagaimana sosok samurai itu, dan apa hubungan Fuu dengan samurai serta mengapa ia harus menemukannya. Ia berhasil meyakinkan dan merekrut Mugen dan Fuu untuk membantunya mencapai misinya.

Mugen – seorang pengembara yang agresif dan sangat suka berterus terang, ia terkesan sebagai orang yang sok tahu dengan perilaku yang menyebalkan. Ia menjadi anak yatim piatu sejak sangat kecil, ia membesarkan dirinya sendiri di lingkungan yang keras. Gayanya bertarung sangat khas dengan unsur breakdance dan ia menamakannya sebagai “champuru kendo”, yang sebagian diambil dari semua jenis bela diri dan sebagian ia ciptakan saat ia bertarung dengan musuh-musuhnya. Mugen yang mengenakan anting-anting logam dan selalu membawa pedang Jepang di punggungnya, direkrut oleh Fuu bersama Jin untuk mencari seorang Samurai yang memiliki bau seperti bunga matarahari.

Jin – sosok yang penuh disiplin dan penuh kharisma, ia paling dewasa dibanding dua rekan lainnya. Ia adalah petarung yang terlatih dan memiliki kemampuan bertarung dengan pedang yang sangat mematikan. Jin merupakan keturunan keluarga samurai yang kemudian mengikuti disiplin dan falsafah hidup samurai dengan sangat patuh. Ia pun selalu mengenakan pakaian a la samurai. Jin memiliki dua kepribadian yang berbeda, dalam keseharian, Jin adalah orang yang penyendiri dan pasif yang melakukan sesuatu sesuai permintaan dan membiarkan teman-temannya mengajak ia kemanapun dan memiliki rasa hormat yang sangat tinggi pada orang yang lebih senior, dan di sisi lain Jin adalah petarung yang memiliki kecepatan bak petir saat ia menggunakan pedangnya. Ia terlihat sebagai sosok yang hidup saat ia bertarung.

Read More..

Rabu, 13 Januari 2010

Sebuah Renungan


Hari ini saya tanpa sengaja membuka arsip2 email. Tak sangka mata ini terhenti pada sebuah subject email "Sebuah Renungan" yang sempat saya kirim ke beberapa teman hampir 5 tahun yang lalu. Inilah isi email tersebut dan semoga dapat menjadi renungan bagi kita betapa kita sesungguhnya telah berlebihan dalam hidup dan dzalim pada diri kita sendiri.

---------------------------------------------------------------------------------

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?

Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk. Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk. Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki?
Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya,adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini,dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah? Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden,di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul. Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah.
Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
> * * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu, Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib. Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
> --------------------------------------
"Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras. Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja.
Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi. Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet. Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu,
Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya.
Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
> --------------------------------------
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi.Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya. Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya. Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali.
Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja.Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama."
Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

(Author Unknown)

Read More..